Wed. Jan 15th, 2025

Oleh Sunarsip*)

| Dimuat oleh REPUBLIKA, Senin 6 September 2021 | Rubrik Analisis | 

Pada awal periode 2000-an, kita sering membaca berita tentang krisis energi (listrik). Berita listrik padam akibat kekurangan pasokan listrik dari pembangkit hampir dapat kita temukan setiap hari di media. Ketimpangan (gap) antara permintaan (demand) listrik dengan pasokan (supply) listrik begitu nyata. Statistik PLN 2014 menyebutkan, pada 2004 permintaan listrik mencapai 100,1 TWh, sedangkan pembangkit hanya mampu memasok sebesar 57,6 TWh atau hanya sekitar 57 persen dari kebutuhannya. Besar sekali ketimpangannya. Dan ketimpangan ini masih terjadi hingga 2014.

Menyadari ketimpangan tersebut, mulai 2005, pemerintah menggelar program percepatan (fast-track program/FTP) kelistrikan. Dikenallah FTP tahap pertama dan FTP tahap kedua yang masing-masing mentargetkan sekitar 10.000 MW pembangkit listrik, berikut transmisi dan jaringannya. 

Mayoritas pembangkit FTP adalah PLTU (berbahan bakar batubara) karena pembangungannya relatif cepat, diharapkan dapat mengejar ketimpangan supply demand. Selain itu, saat itu pembangkit batubara dinilai lebih murah dibanding pembangkit lainnya (termasuk energi baru terbarukan/EBT), sehingga kehadiran PLTU tersebut diharapkan dapat mengurangi biaya pokok produksi (BPP) listrik yang ditanggung PLN sehingga tidak membebani dari sisi keuangan.

Terlepas dari pro dan kontranya, harus diakui kehadiran PLTU hasil fast-track program tersebut cukup mampu mengurangi ketimpangan sektor kelistrikan kita. Ditambah dengan program kelistrikan 35.000 MW yang dicanangkan pemerintah sejak 2015, kapasitas pembangkit meningkat signifikan, sehingga supply listrik juga meningkat. 

Pada 2018, supply listrik mencapai sekitar 325 TWh meningkat 5 kali lipat dibanding posisi 2004. Demand listrik juga meningkat, 3 kali lipat menjadi sekitar 325 TWh. Meskipun masih ada gap antara supply dan demand, namun gap tersebut mengecil karena kenaikan supply lebih tinggi dibanding kenaikan demand-nya.

Kehadiran PLTU baru (terutama yang dimiliki PLN sendiri) ini memberikan “keuntungan” tersendiri bagi pemerintah dan PLN. Karena harga bahan bakar per KWh-nya relatif lebih murah, PLN pun dapat mengurangi BPP listrik. Pembangkit FTP tahap pertama yang awalnya banyak terkendala, dalam tiga tahun terakhir sudah membukukan keuntungan, seiring dengan perbaikan faktor kapasitasnya. 

Subsidi listrik pun berhasil dipangkas hingga 50 persen, dari sekitar Rp100 triliun per tahun menjadi sekitar Rp50 triliun per tahun. Harga listrik pun dapat dipertahankan relatif rendah, dimana dalam 6 tahun terakhir ini, tarif dasar listrik (TDL) tidak mengalami kenaikan. Tentunya, kebijakan pemerintah turut pula mendukung berbagai capaian tersebut, seperti kebijakan domestic market obligation (DMO).

Pembangunan infrastruktur kelistrikan, termasuk PLTU, saat ini masih berlangsung terutama untuk menyelesaikan proyek-proyek yang sudah dalam tahap konstruksi. Diperkirakan, dalam satu tahun ke depan, akan hadir pembangkit-pembangkit baru (termasuk PLTU) yang siap beroperasi, terutama untuk memasok listrik ke sistem Jawa Bali (SJB). 

Seiring dengan hadirnya pembangkit baru, dalam satu atau dua tahun ke depan, SJB berpotensi mengalami oversupply, namun diperkirakan akan kembali normal dalam beberapa tahun berikutnya seiring dengan pertumbuhan konsumsi listrik dan berkurangnya investasi pembangkitan di SJB.

Saat ini, kondisi kelistrikan di sistem Jawa Bali telah mengalami oversupply yang “dipercepat”, akibat Covid-19. Covid-19 telah menurunkan konsumsi listrik di Jawa Bali, terutama dari sektor Industri. Penurunan konsumsi listrik sektor Industri ini terkonfirmasi dengan data pangsa (share) sektor Industri terhadap PDRB di Jawa. 

Bahkan, sebelum Covid-19 tren penurunan pangsa sektor Industri di Jawa sudah terjadi. Dari perhitungan yang saya lakukan, pangsa sektor Industri terhadap PDRB di Jawa menurun dari 30,0 persen pada 2010 menjadi 27,6 persen pada akhir 2020.

Sebelum Covid-19, penjualan listrik SJB tumbuh 3,9 persen selama 2015-2019. Meskipun SJB menunjukan pertumbuhan permintaan listrik, masuknya pembangkit baru dari swasta (IPP) menggerus pangsa pasar (market share) listrik yang dihasilkan pembangkit PLN. 

Tahun lalu, penjualan listrik mengalami pertumbuhan negatif (-0,80 persen). Namun, pembelian listrik dari IPP oleh PLN tumbuh 13,8 persen dibanding 2019 seiring beroperasinya pembangkit IPP baru di Jawa, dimana dengan skema take or pay (TOP), PLN wajib membeli listrik dari IPP sesuai PPA sekitar 70 persen.

Di tengah kondisi oversupply “dipercepat” serta meningkatnya beban keuangan akibat pembelian listrik dari IPP, PLN kini menghadapi tuntutan terkait dengan program kelistrikan berbasis energi baru terbarukan (EBT. Realisasi EBT pada 2020 baru mencapai 11,31 persen dalam bauran energi nasional. Di sisi lain, pemerintah menargetkan pangsa EBT dalam bauran energi nasional sebesar 28 persen pada 2030. Pemerintah sepertinya akan lebih agresif mengejar ketertinggalan target EBT tersebut. Percepatan EBT ini tentunya, akan memberikan pengaruh, baik positif maupun negatif, bagi PLN.

Dalam jangka menengah dan panjang, kehadiran listrik EBT akan menggantikan keberadaan pembangkit berbiaya mahal khususnya pembangkit berbahan bakar minyak. Kondisi ini tentu positif untuk mengurangi BPP listrik. Sedangkan dalam jangka pendek, terutama yang bersentuhan langsung dengan hilir (pelanggan), kehadiran EBT berpotensi mengurangi pendapatan PLN dari sisi penjualan listrik.

Satu hal yang patut dicatat bahwa pengembangan EBT di sisi hulu juga membutuhkan dukungan dari sisi hilirnya. Studi McKinsey (2019) menunjukkan bahwa kebutuhan investasi di sisi hulu EBT membutuhkan dukungan investasi yang hampir sama jumlahnya dengan investasi di sisi hilirnya (transmisi dan jaringan). Kesimpulan yang relatif sama juga terungkap dari studi Wood Mackenzie (2020) dalam konteks kajian perkiraan biaya investasi EBT di Amerika Serikat (AS).

Di Indonesia, kewajiban investasi kelistrikan di sisi hilir sepenuhnya menjadi kewajiban PLN. Itu artinya, kesiapan PLN secara finansial juga semestinya tetap menjadi pertimbangan bagi pengembangan EBT di Indonesia. Jangan sampai terjadi, misalnya, pembangkit EBT selesai dibangun namun transmisi dan jaringannya belum siap akibat ketidaksiapan PLN secara finansial.

Karenanya, menyikapi kondisi tersebut, tentunya dibutuhkan kebijakan transisi di sektor energi yang “bersahabat”. “Bersahabat” dalam arti pengembangan EBT tetap perlu memperhatikan realitas kekinian, baik yang terkait dengan kondisi sektor kelistrikan maupun kondisi PLN. Sehingga nantinya, terjadi keselarasan antara sasaran jangka panjang dengan kebutuhan jangka pendeknya.

Sehubungan dengan hal tersebut, saya mengusulkan beberapa hal. Pertama, pengembangan EBT yang bersentuhan langsung dengan hilir hendaknya dilakukan pada waktu (timing) yang lebih tepat, menyesuaikan dengan kondisi demand dan supply listrik. 

Sebagaimana disampaikan di atas, kita saat ini mengalami oversupply yang “dipercepat”. Diperkirakan kondisi oversupply ini masih akan terjadi dalam satu hingga dua tahun ke depan, khususnya di Jawa Bali, seiring masuknya pembangkit baru skala besar dari IPP swasta. Di sisi lain, PLN membutuhkan ruang untuk memulihkan pendapatan dan biayanya dalam rangka memperbaiki cash flow-nya.

Kebijakan percepatan EBT yang bersentuhan langsung dengan konsumen seperti kebijakan insentif 100 persen ekspor listrik dari PLTS Atap ke PLN, sepertinya perlu di-smoothing lagi. Misalnya, dilakukan pada dua tahun ke depan, setelah kondisi demand listrik diperkirakan pulih. 

Dalam jangka pendek ini, saya mengusulkan lebih mengutamakan kebijakan yang “bersandingan” dengan industri eksisting, seperti percepatan program co-firing pada PLTU batubara.

Kedua, pengembangan EBT seyogyanya juga selaras dengan program penurunan BPP. Misalnya, pembangkit EBT diarahkan untuk menggantikan pembangkit diesel (PLTD) yang berbahan bakar minyak. 

Saat ini, jumlah pembangkit PLTD milik PLN tinggal sekitar 4 persen. Di Jawa Bali, mayoritas PLTU. Sedangkan di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua masih bergantung pada PLTD. Indonesia memiliki potensi EBT melimpah terutama surya, air, biomassa, panas bumi, energi lain dan angin (bayu). 

Studi IRENA menunjukkan, potensi EBT tersebut sebagian besar ada di luar Jawa. Karenanya, pengembangan EBT perlu didorong terutama di luar Jawa. Selain karena mendekat dengan sumber energi primernya, juga sejalan dengan program pengurangan BPP dengan mengganti PLTD dengan EBT.

Ketiga, pengembangan EBT juga perlu memperhatikan komposisi investasi antara PLN dengan swasta IPP. Dominasi IPP yang berlebihan, termasuk pada EBT, kurang baik bagi PLN. Harga listrik yang dibeli PLN dari IPP, selain TOP juga lebih mahal dibanding harga listrik yang dibeli dari pembangkit milik PLN sendiri, sehingga menaikan BPP dan subsidi. 

Oleh karenanya, perlu dirancang agar PLN memiliki komposisi yang lebih besar dalam investasi pengembangan EBT kelistrikan. Dengan kata lain, kapasitas keuangan PLN perlu ditambah agar memiliki kapasitas yang lebih besar dalam investasinya di EBT, baik di pembangkit maupun transmisi dan jaringannya.

Pengembangan EBT adalah suatu keniscayaan. Selain karena tuntutan global, EBT adalah kebutuhan bagi masyarakat. Terutama dalam mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat bagi kehidupan manusia. Namun demikian, pengembangannya tetap perlu diupayakan selaras dengan kondisi, kemampuan pelakunya dan kebutuhan saat ini. Ini mengingat, investasi di EBT juga perlu tetap dijaga agar menghasilkan manfaat yang maksimal baik secara sosial maupun ekonomi serta layak secara keuangan.*

*Sunarsip adalah Ekonom Senior di The Indonesia Economic Intelligence. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.


https://www.republika.id/posts/20005/transisi-energi-ke-ebt-yang-bersahabat

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *